anamost

Wednesday, December 21, 2005

sabar, Nam.

hari ini sepi, kosong, seolah semua sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. sendirian dan harus tegar. Ternyata sabar itu indah, dan ikhlas adalah bumbu yang membuat masakan hidup ini jadi makanan paling lezat. tak perlu aku pegang ekornya, karena cepat atau lambat burung itu akan terbang..bismillahirrahmanirrahim.

Saturday, December 10, 2005

NOL DERAJAT

Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS An Nuur : 44).

Lihatlah betapa sibuk dunia ini melayani para manusia sepanjang siang. Lihatlah betapa kusut jalanan kota menutup hari mereka saat senja setelah sepanjang hari menemani para pencari karunia. Lihatlah betapa bosan udara kota setelah lelah melayani para makhluk berakal menggapai asa. Bangun, bekerja dan belajar, pulang, tidur kembali dan seterusnya. Lihatlah, lihatlah sekali lagi dengan seksama, betapa konservatif kita menjalani pergiliran siang dan malam. Begitu mudah ditebak!.
Pernahkah barang sebentar, kita berhenti sejenak, sekedar mampir ke tepian dan menyaksikan derasnya arus kehidupan, menyaksikan masa demi masa kita lewati, dan menyaksikan betapa sering kita kehilangan momentum syukur dan taubat? Seberapa sering sebenarnya pertanyaan, “sedang apa kita sekarang?” singgah dalam pikiran kita. Atau seberapa sering sebenarnya kita “sadar” dalam hidup kita sendiri. Terkadang manusia dibuat buta akan kesenangan hidup di dunia, hingga lupa bersyukur pada Yang Punya Karunia, atau manusia dibuat keras hatinya, hingga dosa terasa biasa, dan lupa bertaubat pada Yang Maha Kuasa.
Betapa sombong manusia, hingga Allah hanya dijadikan konsumsi saat berduka, atau saat-saat kita membutuhkan pertolongan-Nya. Ingatlah, tatkala diri ini begitu mudahnya berurai air mata, saat-saat lemah melanda. Atau dahi-dahi ini begitu hangat menyapa lantai masjid, saat-saat cobaan menerpa. Namun bila datang saat-saat suka, atau keberhasilan telah berada ditangan kita, kita lupa padaNya. Seolah-olah semua adalah hasil karya kita dan kita berhak merayakan tanpa kehadiranNya.
Ada benarnya tatkala orang yang mengatakan bahwa hidup layaknya roda yang berputar, kadang berada di atas, kadang di bawah. Ya, hidup memang memiliki lingkaran-lingkarannya. Pergiliran malam dan siang, minggu, bulan, tahun, abad, pergantian sukses dan gagal, kebaikan dan dosa dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, tidak banyak yang menyengajakan diri mereka, untuk merekalkulasi, merenungi, dan meratapi, kemudian mereaktivasi kondisi-kondisi tunak dalam hidup mereka. Menulis kembali cita-cita hidup mereka, atau mencoba berhitung berapa banyak dosa yang telah mereka perbuat, dan berapa banyak waktu mereka habiskan untuk kesia-siaan. Seberapa sering kita menjadi manusia-manusia baik. Seberapa besar peningkatan yang telah kita lakukan. Seberapa banyak ilmu yang telah kita dapat. Atau berapa banyak orang yang tersakiti hari ini, atau berapa senyum yang telah kita ciptakan pada diri orang lain.
Allah telah begitu banyak menyediakan masa-masa kalkulasi, masa muhasabah diri, masa-masa yang disebut sebagai titik nol derajat dalam perputaran hidup kita. Namun tidak sedikit pula manusia yang melewatkan begitu saja. Itulah kenapa, mengalami sebuah masa kontemplasi, meski sejenak, dalam panjangnya spektrum usia kita, adalah suatu karunia tersendiri dari Allah Sang Pemberi Nikmat. Apalagi untuk makhluk sekeras, setamak, dan selupa manusia.
Layaknya sebuah karunia hidayah, tentu tidak semua manusia mampu memaknainya dan menjadikannya sebagai momentum perubahan mendasar terhadap diri dam kehidupannya, padahal karunia hidayah itu sendiri tidak datang pada sembarang orang.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus. (QS Al An’am : 39)
Masa itulah yang kemudian oleh orang-orang yang mampu memaknainya dijadikan sebuah titik awal kehidupan yang baru. Sebuah titik yang menandai dimulainya gerak dari geming, bicara dari diam, langkah dari henti, berdiri dari duduk, bangun dari tidur, serta tekad dari sesal. Sebuah titik yang sering disebut sebagai titik kebangkitan.
Pernahkah kita merasa bahwa hari ini adalah hari yang baru untuk kita, setelah kemarin dosa telah menyelimuti hari-hari kita? Pernahkah kita merasa bahwa sekarang saatnya berusaha, setelah kita berkali-kali gagal sebelumnya?
Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa Dia akan mendekati kita lebih dari kita mendekatiNya? Bukankah Allah juga menjanjikan dalam surat Ibrahim, akan menambah nikmat kepada mereka yang bersyukur kepadaNya? Bukankah Allah juga akan selalu menerima taubat hambaNya? Jadi untuk apa berlama-lama enggan, untuk apa bermalas-malas, jika memang itu yang dijanjikan atas sebuah perbaikan?
Saat kita berusaha mengevaluasi diri, dan kemudian berazzam akan sebuah kehidupan yang baru, saat itulah kita sedang berada pada posisi nol derajat. Detik ini, setiap kita bangun pagi, tahun baru ini, idul fitri, ulang tahun kita, bahkan saat-saat gagal kita, dapat menjadi titik nol derajat kita. Namun itu juga belum cukup, karena dibutuhkan komitmen untuk melangkahkan kaki maju menuju satu derajat, dua, tiga dan seterusnya. Langkah-langkah besar yang menjadikan masa itu akan kita kenang sebagai masa-masa kebangkitan, masa-masa islahul hayah. Masa-masa kita berusaha menjadi manusia paripurna. Dan masa-masa itu akan terus kita rindukan, serindu kita pada nol derajat. Masa-masa itu akan terus kita gapai, sesering kita menggapai nol-nol derajat dalam lingkaran hidup kita. [anam]

Surat Terbuka Untuk Para Pewaris Tahta (Pembukaan OSKM 2005)

“BANGSA INI TIDAK PERLU MENGEJAR KETERTINGGALAN DARI NEGARA LAIN TAPI MENCIPTAKAN LONCATAN-LONCATAN BESAR UNTUK MEMIMPIN DI DEPAN”

Selamat datang!
Selamat datang sahabat-sahabat pejuangku!
Senyuman aku tujukan untuk kalian, karena semangat baru telah muncul di hadapanku..karena peluhku dan peluhmu, darahku dan darahmu akan bercampur jadi satu, di bumi perjuangan satu.

Maaf jika puing-puing yang menyambutmu, bukan istana megah yang kau impikan sejak dulu. Maaf jika nasi keras dan lauk seadanya yang jadi santapmu, bukan ayam kecap kesukaanmu. Maaf jika teriakan dan rintihan yang jadi harimu, bukan senandung merdu zaman kita muda dulu.
…karena beginilah negerimu.

Jangan tutup mata kalian karena ngeri. Jangan tutup telinga kalian karena bising. Jangan bungkus diri kalian dari fenomena. Jangan jadi pertapa di hiruk pikuk perjuangan ini. Buka sedikit demi sedikit hatimu, lepas satu persatu belenggu. Hirup dan jadikan itu nafasmu.
…karena beginilah negerimu.

Jangan pernah sekalipun merasa nyaman, karena ini baru awal perjuanganmu. Jangan pernah merasa lelah, karena ini belum sebulan perjalananmu. Jangan mengeluh, karena itu akan membuatmu rapuh. Jangan mengelak, karena itu akan membuatmu telak.

Ingatlah, manusia besar tidak pernah lahir dari jaman yang mudah. Ingatlah, jika engkau kehilangan semangat, lihatlah sekelilingmu. Lihatlah wajah tegar sahabatmu, seperti halnya aku melihatmu, wahai putra negeri. Raih tangan mereka, dan majulah bersama.

Bersiaplah! Bersiaplah menyambut seruan Pertiwi, jadi pilar-pilar agar tetap berdiri. Tahtakan baju perang kita. Serahkan punggung kita, untuk pertiwi lewati menyeberangi sungai deras ini. Tanggalkan sesobek baju kita, dan jadikan tali, untuk pertiwi mendaki dinding terjal ini.

Tidak perlu makam pahlawan untuk menyerahkan tubuh ini pada bumi. Tidak perlu karangan bunga, untuk meninggalkan wangi nama kita. Cukup sebuah niat tulus dari nurani, cukup satu teriakan berani, dan biarkan jiwa kecil ini kita beri, untuk tebusan harga sebuah surgawi.

ITBku adalah ITBmu. Karena kita satu.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Rektorat, Mahasiswa dan Serba-serbinya

Barangkali tepat jika kita menganalogikan hubungan antara rektorat ini dan mahasiswa dengan hubungan antara pengusaha dan buruh. Apalagi begitu banyak kontroversi yang terjadi di kampus ini beberapa bulan terakhir. Sekali buruh salah, PHK dengan murah akan diberikan, tetapi kalau kerja bagus, sanjungan seolah seperti barang mahal. Seperti halnya buruh dan pengusaha, yang ada hanyalah ikatan ‘kontrak’ kerja, antara penyelenggara pendidikan dan peserta didik. Mahasiswa salah, ya diskors atau diambil hak belajarnya secara permanen dengan DO. Tidak ada terminologi guru murid, apalagi ayah anak.

Buruh tidak boleh macam-macam, karena jika kerjanya tidak becus saja, ada mandor yang siap menindak, dengan kuasanya. Mungkin mahasiswa juga harus hati-hati, karena kerja mahasiswa adalah belajar, belajar, dan belajar. Kalau buruh punya prestasi kerja, maka mahasiswa juga punya IPK. Itulah ukuran satu-satunya untuk menilai bagaimana kinerja mahasiswa. Tidak peduli berapa besar investasi sosial yang ditanamkan oleh mahasiswa yang bersangkutan, atau berapa banyak manfaat yang telah dirasakan oleh lingkungan kemahasiswaannya. Walhasil, tidak ada toleransi bagi mereka yang tidak mampu mengikuti kompetisi.

Mungkin sangat jarang buruh mendapat kesempatan bercengkerama atau sekedar mengakrabkan diri dengan pengusaha, karena hirarki yang dibangun pengusaha terhadap buruh terlalu jauh. Seolah pengusaha itu untouchable. Atau bahkan untuk sekedar rekreasi keluarga buruh, bisa jadi tidak ada dalam list program pengusaha, karena hanya buang-buang uang dan sia-sia. Acara keakraban antar mahasiswa juga bisa jadi tidak menjadi program rektorat, tetapi lebih didasarkan pada inisiatif dari mahasiswa itu sendiri. Padahal bisa kita bayangkan, betapa besar manfaat yang bisa diambil dari sekedar interaksi sosial seperti itu. Dalam pikiran pengusaha, hal-hal semacam itu, tidak ada hubungannya dengan pencapaian prestasi kerja, Sama halnya dengan rektorat, bisa jadi kegiatan-kegiatan seperti itu, dirasa tidak berkorelasi positif terhadap pencapaian prestasi akademik, bahkan justru mengganggu. Yah, semoga saja salah.

Pengusaha boleh saja bicara tentang good corporate governance, peningkatan laba usaha, efisiensi waktu, dana dan sebagainya. Tetapi terkadang pengusaha lupa membangun modal sosial yang sangat mempengaruhi lingkungan kerja. Modal yang tidak didapat dari job training, atau seminar, tetapi dari intensitas pergaulan atau interaksi antar buruh. Lingkungan terdekat mahasiswa, adalah mahasiswa lain. Interaksi yang intens di antara mereka adalah modal sosial yang tidak boleh semena-mena diabaikan. Diabaikan kita sendiri saja tidak boleh, apalagi oleh orang lain.

Semakin intens interaksi tersebut terjadi, maka akan muncul kebutuhan akan menciptakan komunitas sosial, agar interaksi yang terjadi lebih efektif. Perlu diingat, adalah hak bagi setiap mahasiswa, untuk membentuk komunitas-komunitas sesuai keinginan masing-masing dalam membantu pencapaian cita-cita dan proses pendidikan. Jika komunitas--yang dalam hal ini organisasi mahasiswa--sudah ada, maka adalah hak setiap mahasiswa pula untuk ikut atau tidak ikut menjadi anggota organisasi tersebut, karena mahasiswa itu sendirilah—dan bukan orang lain--yang memahami pilihan yang menurutnya paling baik untuk mendukung pencapaian cita-citanya. Institut—sebagai lembaga pendidikan—tidak berhak mengambil peran itu secara penuh dari mahasiswa, tetapi berkewajiban membantu serta memfasilitasi keinginan dan pilihan mahasiswa tersebut dengan melihat kemampuan institut. Bukankah perguruan tinggi bertujuan …

Rektorat memang berhak mengatur dan mengeluarkan kebijakan dalam rangka menjalankan proses pendidikan, tetapi bukan berarti mengambil wilayah-wilayah pribadi mahasiswa selaku insan dewasa. Mahasiswa bukan hanya milik institut ini, meski mahasiswa melakukan proses belajar di sini. Ini bukan berarti tidak taat hukum institut, tapi berbeda dengan produk pabrikan manufaktur yang bisa seenaknya dibentuk jadi produk bagus dan marketable, tetapi mahasiswa juga manusia ;) yang punya rasa punya hati, dan akan berontak jika hak-haknya untuk mengembangkan diri di institut ini, terabaikan. Bukan begitu, kawan?

Namun, jika boleh kembali pada analogi pengusaha buruh, buruh seringkali diidentikkan dengan unjuk rasa, perlawanan dsb. Tidak jarang tuntutan kenaikan gaji, pesangon, THR dsb menyulitkan pengusaha yang harus berhitung, agar perusahaannya juga tidak bangkrut. Begitu pula mahasiswa. Lihatlah kawan, bahwa apa yang diinginkan institut ini hanyalah agar kita menjunjung tinggi nilai-nilai universal dalam masyarakat. Pembangunan kompetensi dan karakter diri! Tidak ada yang salah kan dengan cita-cita institut menjadikan sosok mahaiswa ITB menjadi sosok mahasiswa Indonesia ? Bukankah itu juga yang kita inginkan? Menjadi trendsetter bagi negeri ini ? Sampai kapan kita harus jadi agen-agen budaya primitif yang sudah tidak relevan lagi? Sampai kapan kita akan jadi agen-agen budaya Western yang bisa jadi tidak cocok dengan nilai-nilai masyarakat kita ?

Sepertinya kita juga perlu berbenah diri, karena kondisi kita tidak seputih yang kita kira. Masih banyak lubang-lubang yang harus kita tambal, kawan. Bukan rahasia lagi jika ITB terkenal dengan tawuran wisudanya, atau sebagian kecil OSHimp yang masih mengandung sisi-sisi fisik tanpa argumen. Cukuplah sudah beberapa kasus yang menghiasi lembar sejarah kemahasiswaan kita. Cukuplah sudah persepsi negatif masyarakat tentang kegiatan yang bahkan namanya jauh dari kekerasan, Orientasi Studi ini. Sudahi saja tradisi-tradisi yang kita ambil mentah-mentah, tanpa tahu esensi sebenarnya kita melakukannya.

Kita adalah kita jaman sekarang. Kita adalah pemimpin-pemimpin kemahasiswaan jaman ini. Mahasiswa ITB adalah mahasiswa paling cerdas di bumi Indonesia (semoga!), mahasiswa yang tidak boleh menyerah dengan kemampuan otaknya, untuk kreatif, mengeluarkan ide-ide brilian, bahkan ide gila sekalipun, untuk membuat sebuah sistem baru dalam kemahasiswawan ini. Kaderisasi, Wisudaan, atau apapun. Enak atau tidak enak, kemahasiswaan ini adalah milik kita, dan kitalah yang berhak menentukan arah dan aktivitas kita. Otoriarianisme rektorat tidak berarti apa-apa jika kita sudah memegang teguh prinsip kemahasiswaan kita sendiri. Dengan segala kebijaksanaan yang kita punya, tidak perlu 1000 SK bukan, untuk membuat kita menyikapi dan merubah diri ?

Untuk kawan-kawan mahasiswa angkatan 2005, maaf jika semua ini yang menyambut kalian, tapi percayalah bahwa apa yang akan kalian alami dalam aktivitas kemahasiswaan ini, ditambah dengan apa yang kalian dapat di ruang kelas, adalah kombinasi dahsyat yang tidak akan kalian sesalkan dalam perjalanan hidup kalian. Jangan pasang harga mati dulu, sebelum tahu. Tapi juga semua pilihan itu ada di tangan kalian. Selamat bersenang-senang di kampus ini!

Muhammad Syaiful Anam
Presiden Keluarga Mahasiswa

Friday, December 09, 2005

welcome, people.

asw. hi, welcome to my first project blog. have a nice tour..