anamost

Saturday, December 10, 2005

NOL DERAJAT

Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS An Nuur : 44).

Lihatlah betapa sibuk dunia ini melayani para manusia sepanjang siang. Lihatlah betapa kusut jalanan kota menutup hari mereka saat senja setelah sepanjang hari menemani para pencari karunia. Lihatlah betapa bosan udara kota setelah lelah melayani para makhluk berakal menggapai asa. Bangun, bekerja dan belajar, pulang, tidur kembali dan seterusnya. Lihatlah, lihatlah sekali lagi dengan seksama, betapa konservatif kita menjalani pergiliran siang dan malam. Begitu mudah ditebak!.
Pernahkah barang sebentar, kita berhenti sejenak, sekedar mampir ke tepian dan menyaksikan derasnya arus kehidupan, menyaksikan masa demi masa kita lewati, dan menyaksikan betapa sering kita kehilangan momentum syukur dan taubat? Seberapa sering sebenarnya pertanyaan, “sedang apa kita sekarang?” singgah dalam pikiran kita. Atau seberapa sering sebenarnya kita “sadar” dalam hidup kita sendiri. Terkadang manusia dibuat buta akan kesenangan hidup di dunia, hingga lupa bersyukur pada Yang Punya Karunia, atau manusia dibuat keras hatinya, hingga dosa terasa biasa, dan lupa bertaubat pada Yang Maha Kuasa.
Betapa sombong manusia, hingga Allah hanya dijadikan konsumsi saat berduka, atau saat-saat kita membutuhkan pertolongan-Nya. Ingatlah, tatkala diri ini begitu mudahnya berurai air mata, saat-saat lemah melanda. Atau dahi-dahi ini begitu hangat menyapa lantai masjid, saat-saat cobaan menerpa. Namun bila datang saat-saat suka, atau keberhasilan telah berada ditangan kita, kita lupa padaNya. Seolah-olah semua adalah hasil karya kita dan kita berhak merayakan tanpa kehadiranNya.
Ada benarnya tatkala orang yang mengatakan bahwa hidup layaknya roda yang berputar, kadang berada di atas, kadang di bawah. Ya, hidup memang memiliki lingkaran-lingkarannya. Pergiliran malam dan siang, minggu, bulan, tahun, abad, pergantian sukses dan gagal, kebaikan dan dosa dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, tidak banyak yang menyengajakan diri mereka, untuk merekalkulasi, merenungi, dan meratapi, kemudian mereaktivasi kondisi-kondisi tunak dalam hidup mereka. Menulis kembali cita-cita hidup mereka, atau mencoba berhitung berapa banyak dosa yang telah mereka perbuat, dan berapa banyak waktu mereka habiskan untuk kesia-siaan. Seberapa sering kita menjadi manusia-manusia baik. Seberapa besar peningkatan yang telah kita lakukan. Seberapa banyak ilmu yang telah kita dapat. Atau berapa banyak orang yang tersakiti hari ini, atau berapa senyum yang telah kita ciptakan pada diri orang lain.
Allah telah begitu banyak menyediakan masa-masa kalkulasi, masa muhasabah diri, masa-masa yang disebut sebagai titik nol derajat dalam perputaran hidup kita. Namun tidak sedikit pula manusia yang melewatkan begitu saja. Itulah kenapa, mengalami sebuah masa kontemplasi, meski sejenak, dalam panjangnya spektrum usia kita, adalah suatu karunia tersendiri dari Allah Sang Pemberi Nikmat. Apalagi untuk makhluk sekeras, setamak, dan selupa manusia.
Layaknya sebuah karunia hidayah, tentu tidak semua manusia mampu memaknainya dan menjadikannya sebagai momentum perubahan mendasar terhadap diri dam kehidupannya, padahal karunia hidayah itu sendiri tidak datang pada sembarang orang.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus. (QS Al An’am : 39)
Masa itulah yang kemudian oleh orang-orang yang mampu memaknainya dijadikan sebuah titik awal kehidupan yang baru. Sebuah titik yang menandai dimulainya gerak dari geming, bicara dari diam, langkah dari henti, berdiri dari duduk, bangun dari tidur, serta tekad dari sesal. Sebuah titik yang sering disebut sebagai titik kebangkitan.
Pernahkah kita merasa bahwa hari ini adalah hari yang baru untuk kita, setelah kemarin dosa telah menyelimuti hari-hari kita? Pernahkah kita merasa bahwa sekarang saatnya berusaha, setelah kita berkali-kali gagal sebelumnya?
Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa Dia akan mendekati kita lebih dari kita mendekatiNya? Bukankah Allah juga menjanjikan dalam surat Ibrahim, akan menambah nikmat kepada mereka yang bersyukur kepadaNya? Bukankah Allah juga akan selalu menerima taubat hambaNya? Jadi untuk apa berlama-lama enggan, untuk apa bermalas-malas, jika memang itu yang dijanjikan atas sebuah perbaikan?
Saat kita berusaha mengevaluasi diri, dan kemudian berazzam akan sebuah kehidupan yang baru, saat itulah kita sedang berada pada posisi nol derajat. Detik ini, setiap kita bangun pagi, tahun baru ini, idul fitri, ulang tahun kita, bahkan saat-saat gagal kita, dapat menjadi titik nol derajat kita. Namun itu juga belum cukup, karena dibutuhkan komitmen untuk melangkahkan kaki maju menuju satu derajat, dua, tiga dan seterusnya. Langkah-langkah besar yang menjadikan masa itu akan kita kenang sebagai masa-masa kebangkitan, masa-masa islahul hayah. Masa-masa kita berusaha menjadi manusia paripurna. Dan masa-masa itu akan terus kita rindukan, serindu kita pada nol derajat. Masa-masa itu akan terus kita gapai, sesering kita menggapai nol-nol derajat dalam lingkaran hidup kita. [anam]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home